TEMPO.CO , Jakarta:Irene Iskandar, 27 tahun,tak merasa ada yang spesial dalam perayaan Imlek. Bagi dia, Imlek sama seperti malam pergantian tahun dalam penanggalan Masehi. Kalaupun dirayakan, Imlek merupakan momen untuk berkumpul dengan keluarga besarnya. "Paling hanya main ke rumah Oma di Gajah Mada, Jakarta Pusat," ujarnya ketika dihubungi lewat telepon, Jumat pekan lalu.
"Biasanya yang repot itu omaku yang menyiapkan nastar, misoa, dan makanan khas Imlek lainnya," ujar Irene, yang berprofesi sebagai fotografer. Menurut dia, perayaan Imlek hanya ramai di daerah tertentu yang masih banyak warga Tionghoa seniornya. "Misalnya di Mangga Besar. Tapi, kalau di Jakarta Selatan, jarang sekali yang merayakan," kata wanita yang pernah berdomisili di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, itu.
Berbeda dengan Irene, yang merupakan generasi Tionghoa kelahiran 1980-an, sebagian warga Tionghoa di sejumlah daerah ada yang merayakan Imlek dengan meriah, seperti di Bagansiapiapi di Riau, Pematang Siantar di Sumatera Utara, dan Singkawang di Kalimantan Barat. Imlek, sebagai tradisi keagamaan, juga dilakoni umat Konghucu. Perayaan Imlek diawali dengan penyucian rupang atau patung dewa yang ada di klenteng.
Di Klenteng Tjoe Hwie Kiong di Jalan Yos Sudarso, Kota Kediri, misalnya, belasan orang tua dan remaja bahu-membahu membersihkan deretan rupang. "Ini penyucian dewa," kata Tek Hok, 51 tahun, pemimpin peribadatan di Klenteng Tjoe Hwie Kiong, Rabu lalu.
Selanjutnya....